Featured Video

Selamat Datang Di Kaligrafiqu.com Kaligrafi Gallery

Pengrajin Kaligrafi unik jarum dan Benang Satu-satunya Di indonesia.

Pusat Kerajinan Kaligrafi Unik

Jaminan Kualitas dan Harga Terbaik Kami tawarkan untuk anda.

Murni kerajinan Tangan

Seluruh proses pembuatan kaligrafi kami dikerjakan dengan murni kerajinan tangan (pure hand made) agar nilai seni dan kualitas produk kami terjamin yang terbaik.

menerima pesanan segala macam bentuk dan model Kaligrafi Sesuai Keinginan Anda

anda punya model dan keinginan hiasan kaligrafi sesuai keinginan??? kami siap merealisasikannya.

Berbelanja dan Bershadaqoh bersama kami

setiap 10% hasil penjualan kami sumbangkan untuk pembangunan Masjid dan kaum Dhuafa.

Mengenang Sosok GUS DUR

J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam

Konon, ada empat misteri di dunia ini, yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan Gusdur. Seluruh ucapan, perilaku dan manuver politik mantan Ketum NU tiga periode itu (1984-1998) benar-benar bak misteri. Pernyataan Gusdur kerap disalah artikan dan mengundang kontroversi, bahkan oleh “kandang”-nya sendiri, yaitu kalangan NU dan pesantren.
Memang tak mudah untuk membaca seorang Gusdur. Hal itu diakui sendiri oleh Bisri Effendy saat memberi kata pengantar dalam buku “Tuhan Tak Perlu Dibela” cetakan 1999. Bagi lawannya, Gusdur adalah musuh Islam nomer satu. Ia dianggap sebagai tokoh yang “meracuni” pemikiran anak muda NU, sekaligus penyebar ideologi sekuler-liberal. Tak heran, konon, jika berpulangnya Gusdur dianggap sebagai bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Namun, bagi kawan-kawannya, sosok Gusdur sebagai “ad-dakhil” alias pendobrak. Sesuai namanya, Abdurrahman Ad-Dakhil, Gusdur memang “mendobrak” mainstream konservatif kalangan muslim Indonesia melalui berbagai kebijakkan, tulisan dan pernyataannya. Jika Cak Nur dianggap sebagai tokoh yang mengenalkan Islam ke kalangan masyarakat perkotaan, maka Gusdur dianggan sebagai tokoh yang mengenalkan jargon “Mempribumikan Islam dan Meng-Islamkan Pribumi”.
Sementara untuk kalangan umat NU, Gusdur dianggap lebih dari sekedar manusia biasa. Semasa hidup, Beliau dipandang sebagai sosok manusia luar biasa, sosok seorang “Wali Allah.” Tak heran jika berbagai pernyataan kontroversialnya sering di-amin-kan oleh kalangan Nahdhiyin. Mereka memandangnya sebagai wujud dari “sak durunge winarah”, salah satu ke-cirian seorang Wali.
Bagi bangsa Indonesia, terutama kalangan minoritas, Gusdur dilantik secara tak resmi sebagai “guru bangsa”. Ketika Beliau “naik pangkat” menjadi Presiden, banyak kalangan justru menganggap Beliau sejatinya “turun pangkat”. Istilahnya “Semar Dadi Ratu”. Gusdur seakan sudi untuk “disangkar emaskan”. Sementara Semar tak cocok menjadi Ratu. Ia melebihi seorang Ratu. Demikian pula dengan Gusdur.
Untuk kalangan minoritas sosoknya demikian dikenang dan dihormati. Kalangan Tionghoa memberinya gelar “Bapak Tionghoa Indonesia.” Bukan tanpa alasan, Gusdur-lah yang menghilangkan diskriminasi terhadap etnis itu dengan Inpres No. 6/2000, yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Inpres 14/1967 yang menyudutkan etnis Tionghoa.
Gusdur juga dinilai layak menyandang gelar “Bapak Demokrasi Indonesia”. Pada era kepemimpinannya, Gusdur membubarkan Bakortranas -lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib- yang memiliki kewenangan luas untuk menindas. Gusdur pula, dengan kebesaran hatinya, meminta maaf kepada korban pembantaian PKI sekaligus mengusulkan untuk mencabut TAP MPRS No. 27/1966. Gusdur juga membuka ruang dialog antar (umat) agama. Ia ingin setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama atau ideologi.
Dengan segala rekam jejak positif Gusdur, maka tak heran jika kepergiannya ditangisi oleh banyak pihak dan diantarkan oleh lautan manusia. Kehadiran puluhan ribu orang dan maraknya acara haul Gusdur di seluruh pelosok Indonesia menjadi pertanda bahwa kita sangat merindukan kehadiran kembali sosok seperti layaknya Beliau, sekaligus bangsa merasa kehilangan oleh sosok sekelas Beliau.
Bagi kalangan santri, lautan manusia yang memadati acara haul-haul Gusdur semakin menegaskan indikasi bahwa Gusdur ialah “wali” kesepuluh, setelah Walisanga. Setiap hari makamnya selalu penuh sesak oleh orang-orang yang berziarah untuk sekedar mendoakan atau “ngalap” berkah pada tokoh penggemar cerita silat “Kho Ping Hoo” ini. Bahkan rute ziarah Walisanga -kini- tidak sembilan, melainkan sepuluh, yaitu dengan ditambahkannya makam Gusdur sebagai rute ziarah wisata Wali Allah.
Akhirnya, kini, mata dan raga Gusdur memang “tertidur” panjang, namun hati, jiwa, semangat dan buah pikirnya senantiasa ada untuk diestafet-kan kepada generasi-generasi muda NU dan bangsa selanjutnya. Atau benar ucapan KH Muchit Muzadi, bahwa 100 tahun lagi baru-lah Indonesia melahirkan sosok seperti Gusdur kembali.
Selamat jalan Gus…kami -anak muda NU- akan selalu mengenangmu.
Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa A’fihi Wa’fuanhu…Al-Fatihah.

khusu'dalam sholat

J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam

QS. Al Baqarah (2) : 238.
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.
QS. Al ‘Ankabuut (29) : 45.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
QS. Al Mu’minuun 23 : 1-2
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.
Dikisahkan bahwa ada seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan terkenal sangat khusyuk shalatnya. Namun demikian dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasanya kurang khusyuk.
Pada suatu hari Isam menghadiri majelis seorang abid bernama Hatim Al-Asam dan bertanya: “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya tuan shalat?”
Berkata Hatim: “Apabila masuk waktu shalat, aku berwudu’ zahir dan batin.” Bertanya Isam: “Bagaimana wuduk batin itu?”
Berkata Hatim: “Wuduk zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudu’ dengan air. Sementara wuduk batin ialah membasuh anggota dengan 7 perkara:
1. Bertaubat.
2. Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.
3. Tidak tergila-gila dengan dunia.
4. Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia
5. Meninggalkan sifat bermegah-megahan.
6. Meninggalkan sifat khianat dan menipu.
7. Meninggalkan sifat dengki.”
Seterusnya Hatim berkata: “Kemudian aku pergi ke Masjid, kusiapkan semua anggota tubuhku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan kubayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhir bagiku (karena aku merasa akan mati setelah shalat ini). Kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan do’a dalam shalat aku fahami maknanya. Kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawadu’ (merasa hina), aku bertasyahud (tahiyat) dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku shalat selama 30 tahun.
Ketika Isam mendengar penjelasan  itu menangislah ia sekuat-kuatnya,   ternyata ibadahnya  kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

Pengertian ibadah dalam islam

J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid. 

Keagungan seni kaligrafi islam

J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam

KALIGRAFI Islam adalah seni ruhani. “Islamic Calligraphy is a spiritual geometry brought about with material tools”, demikian Yaqut al-Musta’shimi, sang Maestro klasik, menggambarkan keagungan warisan tamaddun Islam ini. Kaligrafi Islam memang bukan sembarang karya seni rupa, karena diyakini memancarkan pesona spiritualitas. Ia pun dipersonifikasikan sebagai media ampuh yang dapat mengkomunikasikan ide-ide, sehingga Ubaidilah ibn Abbas menyebutnya dengan lisan al-yad atau lidahnya tangan.
Bahkan, pada awal masa keislaman kaligrafi tidak hanya beredar pada poros estetis, tapi telah pula memasuki wilayah teologis. Tulisan Kufi, misalnya, yang mencapai puncak kesempurnaannya pada pertengahan abad VIII M, menjadi primadona dan dijadikan sebagai tulisan wajib untuk menulis mushaf Alquran. Oleh sebagian kelompok fanatik ia diyakini datang dari malaikat Jibril ketika wahyu pertama nuzul.
Titik tolak kedigdayaan kaligrafi Islam sejurus dengan ditabuhnya genderang dakwah Islam di abad VII M. Wahyu pertama, Iqra! (bacalah!), adalah inspirator utama bagi tumbuh-kembangnya seni kaligrafi Islam di seantero dunia. Spirit “membaca” pada gilirannya telah melahirkan revolusi yang tak terbendung sehingga melahirkan 400 ranting tulisan setelah mengalami stagnasi selama 1000 tahun lamanya. Inilah pencapaian fantastis dalam sejarah aksara di muka bumi ini.
Dalam rentang inilah Kaligrafi Islam lahir sebagai masterpiece yang sangat diagungkan, tidak hanya oleh umat Islam sendiri, tapi juga non muslim. Kita dapat menikmati jejak keagungan seni kaligrafi Islam dalam pelbagai ragam media, al-amsyaq, simbol-simbol keagamaan, dan altar-altar kekuasaan, yang hingga kini masih tersimpan dan terpajang dengan anggunnya.
Buku yang dihadirkan D. Sirojuddin AR ini merupakan upaya cerdas dalam rangka menapaktilasi sekaligus merunut “syajarah al-khaththathin” atau silsilah para kaligrafer muslim. Secara cermat, Sirojuddin mampu menyajikan keterkaitan atau jaringan para kaligrafer muslim Nusantara dan para maestro kaligrafi di Timur Tengah.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan Sirojuddin ini tidak lain merupakan karya besar yang patut diapresiasi pemerhati dan pegiat seni Islam di Indonesia. Inilah magnum opus pertama yang menampilkan secara komprehensif aneka karya maestro yang memiliki nilai estetis tiada terkira. Tentu, karya ini hanyalah pemantik untuk meledakkan karya-karya besar lainnya. Masih terlampau banyak karya-karya master yang belum tersajikan dalam buku ini. Tampaknya Sirojuddin menginginkan “syajarah al-khaththathin” menjelma dan mewabah dalam bentuk dan kreativitas kawula muda di negeri ini.
Akhirnya, jikalau kita ingin menyaksikan dan menikmati pesona keagungan kaligrafi Islam dari masa ke masa dan dalam pelbagai coraknya, maka simaklah buku Sirojuddin ini. Kita tidak hanya dibuat berdecak tapi juga diajak untuk berfantasi menyelami samudera keagungan spiritualitas kaligrafi Islam. Selamat menikmati !