Featured Video

Logika Islam

J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam


Umat Islam adalah kelompok yang diikat oleh akidah[1] Islam sepanjang sejarah. Maka, siapapun yang mengikuti para nabi sejak Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw, maka itulah umat Islam. Ikatan primordial Islam berada pada akidah, bukan bahasa ataupun historis dan geografis.[2] Akidah Islamiyah ini, adalah salah satu logika dalam pemikiran dan praktek keagamaan Islam.

Islam sebagai sebuah akidah telah ada sejak Nabi Adam as. Adam adalah bapak dari seluruh umat manusia. Dialah nabi Allah yang pertama. Penciptaaan Adam as. adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Allah Swt berfirman, “Ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman pada para malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, Mengapa Engkau hendak menciptakan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30). Selanjutnya, para nabi pun diturunkan Allah Swt hingga yang terakhir, yaitu nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran Islam.


Dalam ajaran Islam, kitab yang menjadi pegangan adalah al-Qur’an.
[3] Kitab ini berisi firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjawab permasalahan umat manusia. Di dalam kitab ini juga terangkum berbagai prinsip dasar dalam masalah sosial, politik, ekonomi, juga perkembangan ilmu pengetahuan. Prinsip dasar inilah yang selanjutnya dieksplorasi oleh kaum Muslim untuk menemukan hukum-hukum alam dan sebagai solusi bagi kemaslahatan umat manusia.

Pemikiran keislaman berkembang dengan dengan pesat. Dalam bidang teologi misalkan, timbullah golongan Khawarij,
[4] Murji’ah,[5] Mu’tazilah,[6] dan Asy’ariyah,[7] Jabariyah,[8] Qadariyah[9] dan Syi’ah.[10] Perdebatan penafsiran terhadap teks al-Qur’an hadits nabi ini menjadikan umat Islam terpecah pada banyak friksi berdasarkan teologis. Dalam ilmu pengetahuan, para tokoh seperti Al-Kindi (806-873 M),  Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M), Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Maskawih (932-1020 M), Ibnu Sina (980-1036 M) telah menorehkan bangunan filsafat dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Dalam bidang kedokteran, ekonomi, matematika, astronomi, telah dijelajahi dengan metode eksperimentasi pada ilmuwan. Ilmu berkembang pesat seiring dengan ekspansi yang luas dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam makalah ini akan diterangkan logika ajaran Islam dalam menerangkan beberapa hal dari kehidupan seperti konsep Tuhan, alam semesta, juga tentang manusia.

Pertanyaan yang akan coba dijawab dalam tulisan ini adalah : bagaimana konsepsi Islam dalam memandang tema-tema pokok dalam kehidupan?


ISLAM


Menurut Abul Qosim al-Khu’i, Agama (al-Din) dapat didefinisikan sebagai, “Seluruh jenis sikap dan perbuatan dalam rangka keimanan dan tanggungjawab kepada Allah bagi pembentukan pola pikir dan keyakinan, demi menghidupkan prinsip-prinsip luhur moralitas atau akhlak kemanusiaan yang pada gilirannya berperan dalam melestarikan hubungan yang baik dan harmonis di antara para individu manusia, sekaligus mengenyahkan setiap bentuk diskriminasi yang tidak semestinya.”[11]
Dari definisi ini, demikian tulis al-Khu’i, maka seluruh umat manusia membutuhkan adanya agama, karena: Pertama, Agama mendukung prinsip-prinsip moralitas. Prinsip moralitas seperti keadilan, kejujuran, kebajikan, persaudaraan dan perbuatan luhur lainnya terdapat dalam agama. Tanpa agama, prinsip-prinsip tersebut hanya akan menjadi nasehat yang tidak memiliki nilai spiritual. Kedua, Agama melahirkan kekuatan menanggung derita dan musibah hidup. Ketiga, Agama mengisi kehampaan ideologi dan Keempat, Agama mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.

Manusia diciptakan Allah Swt ke muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Olehnya itu maka Allah mengirimkan para nabi dengan kitab-kitabnya, termasuk dengan agama. Dengan demikian, agar manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah, maka Allah membekalinya dengan agama, yaitu agama Islam.

Kata Islam berasal dari bahasa Arab “aslama”. Ditinjau dari segi bahasa, Islam memiliki beberapa arti, yaitu: 1). Taat/patuh dan berserah diri kepada Allah Swt[12], 2). Damai dan kasih sayang, 3). Selamat. Secara Istilah, Islam memiliki dua macam pengertian, yaitu: pengertian khusus dan umum. Pengertian khususnya adalah, “agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.” Sedangkan pengertian umumnya adalah, “agama yang diajarkan oleh semua nabi dan rasul Allah Swt dari Adam as. sampai Muhammad Saw yang masih murni.”[13]
Semua ajaran nabi dan rasul sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah mengajarkan Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam al-Qur’an[14] dan Injil Markus.[15] Dalam realitanya, ajaran-ajaran sebelum datangnya Islam telah berubah dari ajaran aslinya seperti ajaran Musa as bagi kaum Yahudi dan ajaran Isa as bagi Nasrani yang mengubah isi kitab sucinya.

Di dalam ajaran Islam, sumber yang digunakan terdiri dari empat hal, yaitu: Pertama, Al-Qur’an, yaitu, “Kalam Allah Swt yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad Saw dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir[16] serta membacanya adalah ibadah.”[17] Dalilnya adalah, “al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat manusia. Juga petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.” (QS. Al-Jaatsiyah: 20)

Kedua
, Hadits, yaitu, “Segala tutur kata, perbuatan, dan taqrir[18] Nabi Muhammad Saw.” Dalilnya adalah, “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, agar kamu memperoleh rahmat.” (QS. Ali Imran: 123)

Ketiga
, Ijma’, yaitu, “Kesepakatan para ulama dalam berijtihad atas suatu hukum Islam yang belum jelas dalam al-Qur’an dan tidak didapati dalam hadits.” Dalilnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 5)

Keempat
, Qiyas, yaitu, “Mempersamakan suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dengan kasus lain yang ada hukumnya, karena terdapat persamaan dalam alasannya.”

TUHAN

Al-Qur’an menamakan dirinya dengan “petunjuk bagi umat manusia” (hudan linnas).[19] Dalam kitab ini, perkataan Allah, lebih dari 2500 kali disebutkan di dalamnya. Eksistensi Tuhan sendiri adalah fungsional dalam artian bahwa, Dialah yang Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan manusia. Juga Dialah Sang Pemberi Petunjuk kepada umat manusia yang kelak di hari akhirat akan mengadili manusia secara individual maupun kolektif dengan penuh keadilan.[20]
Timbul sebuah pertanyaan bagi kita, kenapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Dari pertanyaan seperti ini, tak jarang membuat orang menjadi atheis, tidak bertuhan, tidak percaya sama sekali tentang Tuhan.[21] Namun di sisi lain, dari pertanyaan ini muncul individu-individu yang semakin yakin kepada Tuhan dengan tingkat pengamalan ajaran keagamaan yang tinggi.

Kenapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Al-Qur’an menyatakan bahwa keyakinan terhadap yang lebih tinggi daripada alam semesta sebagai “keyakinan dan kesadaran terhadap yang ghaib”. Hingga batas-batas tertentu dan karya dari wahyu Allah, “yang ghaib” ini bisa dilihat oleh manusia unggulan seperti Nabi Muhammad Saw, walau tidak ada yang bisa memahami itu secara sempurna kecuali Allah sendiri. Dengan perenungan atas eksistensi Allah ini maka kita akan bisa meyakini bahwa Allah adalah Kebenaran Tertinggi.
Untuk mencapai pemahaman itu, maka kita juga butuh usaha yang maksimal. Tidak mungkin kita bisa mengetahui eksistensi Tuhan kalau kita sendiri malas dalam berpikir. Padahal dalam Al-Qur’an kita diperintahkan untuk selalu menggunakan pikiran. Allah sendiri menegaskan kepada kita agar kita menggunakan akal kita, “Inilah peringatan kepada manusia yang memiliki hati/akal dan mendengarkan.” (QS. Qaaf: 37).

Di dalam Al-Qur’an, Allah juga menegaskan kepada kita sebagai makhluk-Nya agar yakin kepada-Nya dan tidak mensyarikatkan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah mengingatkan kita pada tiga aspek:

Pertama
, seluruh alam semesta bergantung pada Tuhan. Apapun yang ada di muka bumi ini hakikatnya adalah sesuatu yang tergantung kepada Tuhan. Artinya bahwa, manusia, hewan, dan alam semesta tidak bisa dijadikan pijakan dalam menggantungkan diri kita, karena semua itu juga menggantungkan diri pada Tuhan Yang Maha Tinggi. Olehnya itu, maka kita perlu gantungkan diri kita pada Tuhan yang Paling Tinggi.

Kedua
, Tuhan adalah Sang Maha Pengasih. Berapapun kesalahan kita di dunia ini, masih bisa diampuni oleh Tuhan asal kita kembali kepada-Nya dengan mengikhlaskan diri dan berupaya kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa datang. Karena Dia Sang Maha Pengasih maka kita diberi-Nya banyak kenikmatan termasuk nafas, dan umur. Kalau tanpa nafas, maka rasanya kita akan mati seketika. Bangun pagi tanpa adanya pernapasan akan membuat kita kehilangan konsentrasi, dan tepatnya langsung mati. Pengasihnya Tuhan sangat banyak, dan itu bisa kita lihat pada diri manusia sendiri, juga pada hewan yang semuanya memiliki rizki, juga alam semesta yang selalu patuh pada kehendak-Nya.

Ketiga
, Hubungan antara manusia dengan Tuhan perlu juga ada hubungan antara manusia dengan manusia. Kita mengenalnya dengan sebutan “hablun minallah” dan “hablun minannas”. Yang pertama adalah hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan. Artinya bahwa untuk bisa eksis di muka bumi kita perlu beribadah sesuai dengan perintah Allah. Dengan demikian, maka Allah akan memberikan nikmat-Nya kepada kita lebih dari yang sudah ada. Turunan dari hubungan baik dengan Allah adalah yang kedua yaitu dengan berbuat baik kepada sesama. Artinya bahwa individu yang imannya kuat, rajin beribadah, tidak dibolehkan menyendiri saja atau shaleh untuk dirinya sendiri, tapi perlu mengaplikasikannya ke khalayak ramai, atau yang kita kenal dengan nama “keshalehan sosial.”

Eksistensi Tuhan yang bisa kita lihat pada  makhluk ciptaan-Nya setidaknya bisa kita telusuri pada beberapa konsep di bawah ini:

Pertama
, Tuhan tidak sama dengan makhluk-Nya. Tak ada yang yang sama dengan Tuhan, siapapun itu. Fir’aun pernah menyebut diri sebagai tuhan, padahal dia bukanlah Tuhan karena dia memiliki kesamaan juga dengan orang lain. Fir’aun juga bernapas, seperti orang lain, dia makan-minum dan menjalani kehidupan seperti umumnya manusia. Tuhan tidak sama dengan siapapun. Olehnya itu, maka membayangkan Tuhan seperti apa bentuknya sangatlah mustahil, dan tidak akan bisa terjangkau. Sebaliknya, malah Tuhan memerintahkan umat manusia untuk memikirkan ciptaan-Nya ketimbang memikirkan zat-Nya yang sampai kita berkalang tanah tak akan pernah bisa sampai mendapatkan konsep zat-Nya.
Kedua, Tuhan Maha Meliputi. Tuhan meliputi seluruh galaxy yang ada di alam semesta ini. Tuhan selalu mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia. Tuhan mengetahui sampai pada ibarat “dedaunan yang jatuh ke muka bumi.” Ini berarti bahwa, Tuhan tahu semua yang ada, karena Dialah yang menciptakan semua ini.
Ketiga, Tuhan tak terhingga. Sebagai contoh, Maha Pengasih-Nya yang sangat tak terhingga. Siapapun yang buat dosa akan diampuni oleh-Nya asal mau kembali ke jalan-Nya. Bagi orang-orang yang taubatnya sungguh-sungguh, maka Allah akan mengubah kesesatan yang telah mereka lakukan itu menjadi kebajikan (QS. Al-Furqaan: 70). Kisah Umar bin Khattab yang pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya, adalah bukti betapa ketika Umar bertaubat, Allah mengangkat derajatnya menjadi salah seorang yang mulia. Begitu juga dengan Khalid bin Walid yang pernah mengalahkan pasukan Islam dalam sebuah peperangan, kemudian pada akhirnya masuk Islam, adalah bukti bahwa kalau seseorang kembali kepada Tuhan maka derajatnya akan ditinggikan.

Keempat
, Firman Tuhan tak akan pernah habis-habisnya. Manusia yang selalu beranak-pinak, adalah salah satu bukti bahwa Allah selalu mencipta. Allah tidak pernah tidur walau sekejap. Ciptaan-Nya selalu muncul. Ada kematian, juga ada kelahiran, begitu seterusnya. Dan, Allah menciptakan semua ini, jelasnya tidak dengan sia-sia saja. Allah menegaskan itu dalam firman-Nya, “Adalah orang-orang beriman yang mengingat Allah ketika mereka berdiri, duduk dan berbaring; mereka merenungi penciptaan langit dan bumi (sambil berkata): Ya Allah, Engkau tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia.” (QS. Ali Imran: 191). Di ayat lain, ditegaskan, “Kami tidak menciptakan langit dan bumi beserta segala sesuatu di antara keduanya dengan sia-sia.” (QS. Shaad: 27).

ALAM SEMESTA

Allah menyebut bahwa penciptaan alam semesta ini terjadi hanya dengan sekedar berkata, (Kun!)“Jadilah!” Oleh karena itu Allah yang secara mutlak memiliki alam semesta ini. Karena kekuasaan Allah yang maha mutlak, Allah cukup menciptakan langit dan bumi ini dengan berkata kepada keduanya, “Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!” (QS. Fusshilat: 11).

Alam semesta ini seluruhnya adalah “muslim” dalam artinya menyerah pada kehendak Allah Swt[22], dan segala sesuatunya memuji Allah selalu.[23] Di sini berarti bahwa alam semesta ini tidak ada yang keluar dari ketentuan Allah. Allah yang mengatur, dan tidak ada alam ini yang membangkang, kecuali manusia yang diberikan kehendak apakah mau menjadi makhluk yang bersyukur atau kufur. Segala sesuatu di alam ini juga berzikir dengan memuji Allah. Batu-batuan, pohon, planet dan gugusannya juga berzikir dalam bentuknya masing-masing.

Alam semesta seluruhnya ini diciptakan Allah dalam waktu “enam hari” dan setelah itu Allah duduk di atas “arsy”. Dari atas arsy itu, Allah menurunkan perintah-perintah-Nya. Mengenai enam hari, ada mufassir yang menerjemahkan dengan enam masa, juga mengenai arsy Allah tidak ada yang mengetahui secara persis, hanyalah ungkapan bahwa Allah memiliki singgasana yang kita tidak tahu bentuknya.

Lantas, apa perbedaan antara Allah dengan makhluk-Nya? Mengutip Fazlur Rahman, “Jika Allah tak terhingga dan mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah terhingga. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu tetapi bagaimanapun banyaknya potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tidak terhingga.” Dari sini berarti bahwa, selain Allah, semuanya memiliki kadar masing-masing.
MANUSIA

Manusia adalah makhluk yang unik. Manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam yang diciptakan dari tanah—turab/thin.[24] Dari Adam kemudian diciptakanlah Siti Hawa, sang istri Nabi Adam. Dari mereka berdua, kemudian beranak-pinaklah umat manusia menjadi berbangsa-bangsa.

Ketika Allah hendak menciptakan Adam untuk menjadi khalifah di muka bumi, para malaikat mengajukan protes dan berkata, “Apakah Engkau hendak menempatkan seseorang yang akan berbuat aniaya di atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedang kami selalu memuji Kebesaran dan Kesucian-Mu?” Allah menjawab, “Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui.” Selanjutnya, Allah mengadakan semacam kompetisi dengan para malaikat dengan menjelaskan sifat dari nama-nama tertentu. Namun para malaikat tidak sanggup untuk itu, sedangkan Adam bisa (QS. Al-Baqarah: 30). Ini karena manusia memiliki pengetahuan yang kreatif.

Ketika Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam, semua bersujud kecuali bangsa Jin[25] yang menyatakan dirinya lebih mulia daripada Adam. Ia mengingkari itu, olehnya itu maka ia menjadi syaithan.

Manusia memiliki banyak keunggulan, salah satunya adalah kekuatan fitrah. Namun fitrah ini bisa terganggu sifatnya kalau berada jauh dari “orbit Tuhan” atau dari ajaran Tuhan. Fitrah manusia adalah kebaikan, kasih sayang, dan cinta pada kebenaran. Namun, bisa menjadi terganggu jika syaithan senantiasa menggoda dan iman sang manusia lemah. Walau bagaimanapun, jika manusia berusaha keras untuk mencapai tangga keimanan yang sempurna, maka Allah akan selalu membantunya. Ini tergantung dari seberapa kuat usaha sang manusia.

Manusia adalah makhluk sosial, bukan hanya individual. Olehnya itu, agar eksis di muka bumi maka manusia butuh teman, juga komunitas. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa sebagai anggota masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengadakan konspirasi untuk menjatuhkan Islam. Ini pernah dan senantiasa dilakukan oleh kalangan yang membenci kepada Islam. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah mengetahui setiap sesuatu yang berada di langit dan di bumi. Tiada rahasia di antara tiga manusia tanpa Allah sebagai yang keempat; tiada rahasia di antara lima manusia tanpa Dia sebagai yang keenam. Begitu pula tiada rahasia di antara mereka dalam jumlah lebih sedikit atau lebih banyak yang tidak disertai-Nya di manapun mereka berada.” (QS. Al-Mujaadilah: 7)

Ayat ini adalah salah satu celaan Al-Qur’an yang berulangkali terhadap pertemuan-pertemuan untuk menggulingkan Islam yang sering dilakukan oleh musuh-musuh Islam (baik warga-warga Mekkah yang belum menganut Islam maupun warga-warga Madinah yang munafik). Secara khusus ayat ini berarti bahwa betapapun mereka merahasiakannya, namun pembicaraan mereka itu niscaya diketahui Allah.

Al-Qur’an diturunkan untuk menegakkan tatanan sosial yang etis dan egalitarian. Al-Qur’an mengkritik politheisme yang ada di Mekkah ketika itu, sekaligus terhadap ketimpangan sosial yang terjadi. Eksploitasi antar manusia, ketidakadilan dalam timbangan, adalah dua hal yang menjadi masalah di Mekkah. Ini tidak diinginkan oleh konsep Islam. Artinya bahwa hal ini bisa saja terjadi di wilayah lain dalam waktu yang berbeda. Al-Qur’an jelas mengkritik ini agar diganti dengan tatanan yang lebih etis dan manusia. Orang-orang yang kerjanya hanya menumpuk harta, misalnya, dikecam oleh Al-Qur’an, “Kalian senantiasa sibuk di dalam perlombaan menumpuk harta kekayaan hingga ajal kalian tiba. Tidak! Nanti akan kalian ketahui! Tidak! Nanti akan kalian ketahui!” (QS. At-Takatsur: 1-4)

Pada level sosial-politik, Al-Qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan yang paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak dan kakek-nenek, dan masyarakat muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan. Kaum muslimin ditegaskan bahwa mereka semua itu “ikhwah” (bersaudara) (QS. Al-Hujuraat: 10). Mereka tidak bisa digoyahkan bangunannya karena laksana “sebuah bangunan yang kokoh” (QS. Ash-Shaff: 4).

Dalam konsep kenegaraan, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa masyarakat Islam berdiri karena ideologi Islam dengan tujuan “amar mar’uf dan nahyi mungkar”. Al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk mengadakan mekanisme syura (dewan/majelis konsultatif). Sistem syura adalah sebuah institusi demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh Al-Qur’an (QS. As-Syuura: 38)

Dengan berjalannya konsepsi Islam di masyarakat, maka masyarakat tersebut lambat lain akan menjadi masyarakat yang negerinya baik, aman, dan selalu mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah Swt. Inilah yang diinginkan oleh Al-Qur’an.

KENABIAN

Menurut bahasa, nabi berasal dari kata “nabba’a wa anba’a” yang berarti “akhbara” (mengabarkan). Nabi ada yang memberitakan dari Allah dan ia diberi kabar dari sisi-Nya. Atau, juga berasal dari kata “naba-a” yang berarti “’ala wa irtafa’a” (tinggi dan naik). Maka nabi adalah makhluk yang termulia dan tertinggi derajat atau kedudukannya.

Sedangkan menurut istilah, nabi ialah seorang laki-laki yang diberi kabar (wahyu) oleh Allah berupa syari’at yang dahulu (sebelumnya), ia mengajarkan kepada orang-orang di sekitarnya dari umatnya (penganut syari’at ini).[26]
Kenapa kita memerlukan nabi? Itu karena Allah Maha Pengasih kepada kita semua. Kita diciptakan-Nya dan tidak ditinggalkan begitu saja di bumi. Allah memberikan tuntunan kepada kita lewat para nabi agar kita tidak tersesat dalam meniti kehidupan. Jika nabi tidak ada, maka tiap orang atau tiap bangsa bisa bermacam-macam membuat agama dan keyakinan.

Seorang nabi yang diturunkan kepada manusia, agar dakwahnya berjalan lancar dan masuk ke lubuk hati umatnya, maka ia perlu mendekati kaumnya dengan banyak cara, namun tetap tidak terjebak dalam ritual-ritual yang terlarang dalam agama.

Kunci keberhasilan para nabi, setidaknya adalah karena beberapa hal di bawah ini: Pertama, kepekaan. Para nabi adalah orang yang peka terhadap kondisi masyarakatnya. Mereka tidak diam saja dalam melihat konteks sosial. Ketika ada suatu masalah mereka mengambil tindakan, yang kemudian membuahkan simpati dari umatnya. Kedua, tabah. Ketabahan adalah kunci dari keberhasilan. Konsekuensi logis dari perjuangan Tauhid adalah penentangan dari kaum anti-Tauhid. Olehnya itu, maka ketabahan, seperti nabi Muhammad yang dilempari dengan batu di Thaif, adalah kunci dari keberhasilan beliau. Jika tidak tabah, maka masyarakat akan tidak simpatik. Ketiga, kebenaraan wahyu. Wahyu dari Allah adalah benar. Karena itu benar maka para nabi dengan yakin menyebarkan ajaran tersebut. Kebenaran dalam wahyu adalah sangat penting untuk keberlangsungan dakwah di kalangan umat manusia. Keempat, ulet. Rajin berdakwah adalah kunci dari kesuksesan. Senantiasa tidak bosan dalam menyeru, maka semakin sering umat mendengar seruan itu semakin dekatlah mereka dengan seruan itu. Lama kelamaan umat akan tersadarkan lewat hidayah dan perenungan-perenungan. Kelima, tidak takut. Ketakutan itu manusia, namun para nabi berhasil menempatkan ketakutan itu di bawah keberanian. Akhirnya mereka berhasil dalam titian dakwahnya di masyarakat.
ILMU PENGETAHUAN

Filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903), dalam tulisannya tentang pendidikan, menulis sebagai berikut:

“Pengetahuan itu tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam banyak paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan membisu tentang keindahan sesuatu yang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaan penciptanya.   
Seorang ahli pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia mengetahui bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hydrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air, tentu akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya, orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya tidak lebih dari setitik air.”[27]
Manusia diberikan potensi akal untuk berpikir. Fenomena makro kosmos seperti alam semesta yang begitu luas, sampai pada mikro kosmos yang berada dalam diri manusia juga menjadi tanda-tanda dari kekuasaan Allah Swt. Allah tidaklah menciptakan semua hal di langit dan di bumi dengan kesia-siaan, semuanya memiliki keteraturan dan makna. Manusia sebagai khalifah Allah, untuk memakmurkan bumi maka diberikan akal pikiran untuk memiliki ilmu[28] dan mengeksplorasi lebih jauh tentang fakta penciptaan ini.
Salah satu kesalahan besar dari kalangan Katholik adalah ketika Gereja menolak pendapat ilmuwan seperti Galileo tanpa penyelidikan yang mumpuni. Stephen Hawking, penulis buku a Brief History of Time, menceritakan peristiwa ini ketika memberikan ceramah ilmiah pada kongres Kosmologi yang diselenggarakan oleh kaum Jesuit di Vatikan (1981). Tokoh fisika teori yang berasal dari Inggris itu menulis:
“Gereja Katholik pernah melakukan kesalahan besar, yaitu ketika memaksa Galileo Galilei menarik pendapatnya yang mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Dengan demikian berarti telah memaksakan suatu hukuman kepada ilmu pengetahuan kealaman. Tapi kali ini setelah waktu berlalu seabad kemudian, Gereja memutuskan untuk mengundang sejumlah pakar ilmu pengetahuan kealaman agar memberikan pendapat mereka di bidang kosmologi…”[29]
Ilmu Pengetahuan terkini semakin hari semakin membuktikan kebenaran ayat-ayat al-Qur’an. Padahal, sejak abad ke-7, di dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang fenomena alam semesta dan perintah kepada umat manusia untuk belajar, mengkaji ilmu pengetahuan dengan tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah yang telah diajarkan oleh Tuhan. Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan kepada manusia untuk membaca dan mengkaji ilmu pengetahuan:
“Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”  (QS. Al’Alaq: 1-5)

Kata kerja “Iqra’!” dalam surat ini berbentuk fi’l amr (kata perintah) yang berarti wajib. Kata ini selain berarti bacalah, juga bisa ditafsirkan dengan mempelajari, mengajar, menyelidiki, mencari dan mengembangkan, mempelajari secara dasar. Dengan demikian, perintah membaca dalam ayat ini mempunyai kawasan aplikasi yang sangat luas yang melibatkan intelegensi manusia berkomunikasi dengan alam sekelilingnya.[30]

Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsir mengatakan bahwa manusia dimuliakan dengan ilmu. “Permulaan penciptaan dari ‘alaqah, dan dari kemuliaan Allah Swt adalah dengan mengajarkan ilmu kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Takdir ilmu ini adalah kelebihan yang Allah berikan kepada Abul Basyar (Bapak Manusia) Nabi Adam as.”[31] Jadi, ilmu pengetahuan yang Allah berikan kepada manusia, sejatinya adalah pemuliaan Allah Swt kepada manusia karena manusia diberikan beban sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi ini.

Di dalam al-Qur’an, Allah Swt menerangkan kepada kita tentang ilmu yang dimiliki Nabi Adam as, yang kemudian meninggikan posisi dan performanya ketika dapat menyebutkan asma’ (nama-nama) atas malaikat (QS. Al-Baqarah: 21-33). Menurut Muhammad al-Ghazali, kita tidak perlu berpersepsi bahwa Adam mengetahui atau menguasai kimia, fisika, dan astronomi, tetapi kita cukup berpersepsi bahwa dia mengetahui abjad-abjad yang membentuk ilmu-ilmu tersebut melalui riset dan eksperimen yang terus menerus. Adam diberi akal pikiran aktif yang mampu memberi ukuran dan pilihan bagi unsur-unsur alam semesta.”[32]

Menurut al-Ghazali lagi, sumber yang diperoleh Adam as sehingga mengungguli malaikat adalah alam semesta. Mengetahui alam semesta adalah kemurnian sisi kemanusiaan, dan tidak mengetahui alam semesta tidak akan memberi nilai guna sedikitpun. Ada dua alasan yang diberikan al-Qur’an kepada kita agar kita memiliki pengetahuan tentang alam semesta:

Pertama
, Pengetahuan tentang alam semesta menunjukkan adanya Allah Swt. Kita hidup dalam alam semesta yang begitu dinamis. Rembulan begerak mengelilingi bumi, bumi bergerak mengelilingi matahari, dan matahari bergerak mengelilingi orbitnya. Semua hal ini bergerak mengikuti aturan semesta yang dibawah aturan Allah Swt. Kedua, Adanya hubungan kebutuhan hidup manusia dengan alam semesta. Allah Swt berfirman, “Dan bumi sesudah dihamparkan-Nya. Ia memancarkan dari padanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. An-Nazi’at: 30-33)

Ilmu Pengetahuan adalah sesuatu yang perlu dimiliki oleh kaum muslim, oleh karena dengan pengetahuan akan mengantarkan umat manusia pada penghambaan kepada Allah Swt. Pengetahuan yang benar akan membawa sang pengkajinya pada kesadaran bahwa segala fenomena yang ada di dunia ini tidak lepas dari ciptaan Allah. Allah yang menciptakan manusia dalam keadaan yang sempurna (tidak melalui tahapan evolusi seperti ajaran Charles Darwin dalam on the Origin of Species). Dengan demikian, ilmu pengetahuan itu mengantarkan manusia untuk menjadi khalifah yang membawa kemaslahatan untuk umat manusia dan alam semesta.   
Kesimpulan


Dari enam konsep yang dipaparkan sebelumnya, dapatlah diambil kesimpulan bahwa Islam adalah ajaran yang lengkap. Islam tidak membatasi diri pada unsur spiritual saja, akan tetapi Islam meliputi semua hal. Para nabi dari Adam as hingga Isa as pada dasarnya adalah beragama Islam karena sama-sama mengajarkan umat manusia untuk menyembah Tuhan yang satu dan tidak mensyarikatkan-Nya.

Salah satu nestapa dari masyarakat modern adalah karena meninggalkan al-Qur’an dengan bermacam alasan. Sains yang jauh dari al-Qur’an membawa manusia pada kebingungan, kehampaan dan ketidakjelasan orientasi hidup. Bagi para pengkaji ilmu pengetahuan, maka berdasarkan kajiannya akan terlihatlah betapa semua fenomena alam ini diatur oleh Allah Swt. Artinya bahwa klaim kebenaran atau ketuhanan seperti yang dititahkan oleh raja seperti Fir’aun adalah bertentangan dengan eksistensi tuhan dan fitrah manusia. Karena, tentunya Tuhan adalah yang Maha Kuasa dan tidak dibatasi oleh alam karena Dialah Yang Memiliki semua ini.

Manusia diciptakan Allah Swt adalah untuk menjadi khalifah yang memakmurkan bumi. Dengan begitu maka Allah memberikan kepada manusia potensi akal yang digunakannya untuk bertahan hidup dan untuk membangun ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tetap berprinsip pada nilai-nilai ketuhanan. Akal yang Allah ciptakan perlu terus diasah karena al-Qur’an sendiri memerintahkan manusia untuk “iqra’!” (bacalah!) atas semua fenomena alam ini namun tetap dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan (dengan nama Tuhan yang menciptakan).

Nabi yang diutus kepada seluruh manusia adalah untuk mengingatkan perintah dan larangan, berita gembira dan berita buruk kepada umat manusia agar kembali ke jalan Tuhan. Karena jalan Tuhanlah yang benar, dan tidak ada jalan yang menuju keselamatan kecuali dari jalan Tuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
 
al-Ghazali, Muhammad. Syariat dan Akal dalam Perspektif Tradisi Pemikiran Islam (Turatsuna al-Fikra fi Mizan al-Syar’i wa al-‘Aql—terj. Halid al-Kaff & Muljono Damopolii). Jakarta: Penerbit Lentera, 2002
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam, cet.16. Bogor: Cahaya Islam, 2005
Ibrahim, Samir Abdul Hamid. Teladan Bagi Generasi Pejuang: Abul A’la al-Maududi Antara Pribadi, Pemikiran dan Karya-Karyanya (Abul A’la al-Maududi, Fikruhu wa Da’watuhu—terj. Fathurrahman Hamid). Jakarta: Pustaka Qalami, 2004
al-Khu’i, Abul Qosim. Menuju Islam Rasional Sebuah Pilihan Memahami Islam (Rationality of Islam—terj. Dede Azwar N). Jakarta: Hawra Publisher, 2003
Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Riyadh: Darussalam, 2000
Marconi, Achmad. Bagaimana Alam Semesta Diciptakan: Pendekatan al-Qur’an dan Sains Modern. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003
al-Qaradhawi, Yusuf. Iman dan Kehidupan (al-Iman wa al-Hayat—terj. Fachruddin HS), cet.3. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993
al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif Medinah Munawwarah Kerajaan Saudi Arabia, 1480 H.
Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Penerbit Pustaka, 1996
ar-Roisi, Abdurrahman. Keberadaan Manusia di Muka Bumi, cet.4. Bandung: PT. Remaja Rosdakarja, 1997 
al-Sa’awi, Muhammad ibn ‘Audah. al-‘Aqidah li al-Mutakhashshishin fi Ghair al-‘Ulum al-Syar’iyyah. Riyadh: Dar al-Isybilia, 1423
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2 (at-Tauhid Lish-Shaff al-Tsani al-‘Aliy—terj. Agus Hasan Bashori). Jakarta: Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, 2002
Al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX (al-Tarikh al-Islami—terj. Samson Rahman), cet.6. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008
Internet
“Khawarij”, http://id.wikipedia.org/wiki/Khawarij
“Murji’ah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Murji’ah
“Mu’tazilah”,  http://id.wikipedia.org/wiki/Mu’tazilah


[1] Kerap ada yang menyamakan pemikiran dan akidah, padahal ada perbedaan antara keduanya. Pikiran (pendapat) hanya menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan akidah terhunjam ke dalam hati dan meresap ke dalam jiwa dan semangat. Suatu pendapat bisa dianggap betul, walau pada hakikatnya salah. Sedangkan akidah sifatnya hidup, dinamis, dan bergelora. Yusuf al-Qaradhawi, Iman dan Kehidupan, hal. 6
[2] Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, hal. 17
[3] Menurut Pemikir Islam dari Pakistan Abul A’la al-Maududi, Al-Qur’an tidak dapat dipahami secara menyeluruh tanpa bersatu dengan ruh al-Qur’an. Kitab ini bukanlah buku teori atau pemikiran semata, akan tetapi kitab dakwah dan gerakan. Samir Abdul Hamid Ibrahim, Teladan Bagi Generasi Pejuang: Abul A’la al-Maududi Antara Pribadi, Pemikiran dan Karya-Karyanya, hal. 127-128
[4] Khawarij (secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.  http://id.wikipedia.org/wiki/Khawarij
[5] Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. http://id.wikipedia.org/wiki/Murji’ah
[6] Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. http://id.wikipedia.org/wiki/Mu’tazilah
[7] As’ariyah berasal dari Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari (873-935), adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy'ari. Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. Asy'ari sempat berguru pada guru Mu'tazilah terkenal, yaitu al-Jubba'i, namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.
[8] Aliran ini lahir di Khurasan. Salah satu pahamnya adalah manusia tidak memiliki kekuatan untuk beruat sesuatu dan tidak memiliki kemauan. Dengan kata lain, semua kemauan dan perbuatan manusia sesungguhnya kehendak Allah Swt. Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, hal. 48 
[9] Aliran ini muncul di Irak. Ajarannya adalah paham bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berbuat, dan berkemauan. Manusia sendiri yang menentukan perbuatannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah Swt. ibid, hal. 47
[10] Aliran yang beranggapan bahwa yang berhak menjadi khalifah pengganti Rasulullah Saw adalah Ali bin Abi Thalib. Pelopor paham ini adalah Abdullah bin Saba’ dari Yahudi Yaman yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. ibid, hal. 51
[11] Abul Qosim al-Khu’i, Menuju Islam Rasional, hal. 1
[12] Al-Qamus al-Muhith, seperti dikutip Muhammad ibn ‘Audah as-Sa’awi, al-‘Aqidah, hal. 8. Di riwayat lain, Rasulullah juga banyak menamakan Islam dengan beberapa perkara, seperti: taslimul qalbi (penyerahan hati), salamatunnas minal lisan wal yad (tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangan), memberi makan, serta ucapan yang baik. Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hal. 11
[13]  Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, hal. 2-3
[14] “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bangsa Israil), bertanyalah ia, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah Swt?” Para Hawariyyin menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.’ Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah sesungguhnya kami orang-orang yang berserah diri.” (QS. Ali Imran: 52)
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah, serta apa yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya. Juga apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, dan hanya kepada-Nya kami menyerahkan diri.” (QS. Ali Imran: 84)
[15] Ketika salah seorang ahli Taurat yang murid Nabi Isa bertanya perihal hukum manakah yang terutama sekali. Di pasal 12 ayat 29, “Maka jawab Yesus kepadanya: “Hukum yang terutama inilah. Dengarlah hai Israil, adapun Allah Tuhan kita adalah Tuhan Yang Esa.”
[16] Hadits yang memiliki banyak sanad dan mustahil perawinya berdusta atas nama Nabi Muhammad Saw, sebab hadits ini diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang
[17] Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 15
[18] Diam tanda setuju/boleh atas tindakan para sahabat
[19] Kutipan dari Margaret Marcus dalam bukunya Islam vs the West menarik untuk disimak: “Although the Qur’an in Arabic to an Arab Prophet, its message is directed to the entire human race.” Abdurrahman Arroisi, Keberadaan Manusia di Bumi, hal. 15. Ini sejalan dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi segenap alam, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
[20] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, hal. 1
[21] Kritikan kepada kaum atheis yang mengingkari wujud Tuhan salah satunya dilontarkan oleh Andrew Conway, “Wujud Tuhan boleh jadi dapat diingkari oleh para atheis, seperti dilakukan oleh Karl Marx dan Engel. Tetapi para atheis itu tidak mempunyai bukti yang rasional, yang masuk akal, dalam menunjang pengingkaran mereka kepada Tuhan.” Abdurrahman Arroisi, hal. 19-20
[22] “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya lah berserah diri segala yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 83)
[23] “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hadid: 1)
[24] Dalil-dalil tentang penciptaan dari tanah ini adalah: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr: 26). “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr: 28). “Berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr: 33). “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah.” (QS. Al-‘An’aam: 2). “Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? Menjawab Iblis: “Saya lebih baik darinya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raaf: 12)
[25] “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)
[26] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hal. 83-84. Dalam kitab ini dibedakan antara nabi dan rasul. Kenabian lebih umum dari kerasulan. Setiap rasul pasti nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul. Nabi diutus untuk berdakwah kepada syari’at nabi/rasul sebelumnya, sedangkan rasul diutus untuk berdakwah kepada kalangan yang tidak beragama, atau mereka yang telah mengubah syari’at.
[27] Yusuf al-Qaradhawi, Iman dan kehidupan, hal. 215
[28] Potongan ayat yang populer tentang penghargaan Allah kepada orang beriman dan berilmu di ayat ini, “..Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11)
[29] Achmad Marconi, Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, hal. xx
[30] ibid, hal. 22
[31] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, hal. 1489
[32] Muhammad al-Ghazali, Syariat dan Akal, hal. 23

-- Yanuardi Syukur --

ARTIKEL TERKAIT:

0 komentar:

Posting Komentar