J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam
kisahmuallaf.com – Gema takbir yang menggema di malam Idul Fitri — sekitar 17 tahun silam — telah menggetarkan hati David Sanford Scherer. Kalimah yang mengagungkan Sang Khalik itu membuatnya merinding. Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pria kelahiran Yokohama, Jepang itu memutuskan untuk memeluk Islam.
‘’Langsung saya bilang mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbiran itu, saya memeluk Islam,’’ ujar ayah dua anak itu berkisah kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri.
Tak hanya gema takbir yang membuat David memeluk Islam. Suara azan yang berkumandang setiap lima kali dalam sehari juga telah menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha makanan di Pulau Dewata itu mengaku selalu merinding setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.
’’Makanya, kalau malam takbiran saya nggak di Bali. Karena di sini (Bali, red) kita nggak mendengar suara takbir. Biasanya saya ke Jakarta, mertua saya di Ciputat,’’ papar suami dari Indriani Kuntowati itu.
David hijrah ke Indonesia bersama orangtuanya pada tahun 1980-an. Kedua orangtuanya mencoba berbagai usaha, hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam. Seperti halnya, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan Menteng Dalam.
Ia sungguh amat bersyukur. Betapa tidak. Ia telah menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir dalam keadaan sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, muallaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai, serta 100 persen mengamalkan ajaran Islam.
‘’Itu, karena mereka (muallaf, red) mengetahui bahwa Islam adalah agama terbaik,’’ ungkap mantan pengurus Yayasan Dyatmika Sekar Bawana itu. Menurut David, untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orangtua Muslim harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.
Seringkali, papar David, orangtua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tak melakukannya. Padahal, kata dia, contoh terbaik itu harus dimulai dari setiap orangtua di rumah. ‘’Apa saja kebaikan, harus dicontohkan orangtua, baru anak mengikutinya dengan baik.Tapi kalau cuma perintah, sedang orang tuanya tidak melakukan, itu akan sulit dilaksanakan dengan baik.’’
Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya telah diikuti kedua anaknya. Bahkan, anaknya telah menjadi imam shalat di mushala sekolahnya.
David bersama putranya berhasil memperjuangkan hadirnya mushala di sebuah sekolah nasional plus campuran. ‘’Alhamdulillah, sekarang di sekolah anak saya sudah ada mushala. Itu saya perjuangkan selama satu tahun,’’ tuturnya sumringah.
Pihak sekolah memberi ruangan bekas gudang untuk digunakan sebagai mushala. David pun membersihkan gudang itu dan menyulapnya menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah SWT. ‘’Anak saya sekarang sudah menjadi imam di mushala. ‘Alhamdulillah, Allahu akbar,’’ ujar David.
Apa pendapat David tentang umat Islam di Indonesia? Secara jujur, ia mengungkapkan, sebagian besar umat Islam masih memandang seseorang dari materi dan kekuasaan. ‘’Contohnya, saya berseragam dengan memakai baju gamis, orang pikir saya ustadz. Besoknya, saya pakai celana jeans bolong-bolong, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka nggak mau jawab. Naif sekali.’’
Selain itu, David juga menyayangkan masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum mampu memahami dan mengamalkan tuntunan Alquran. ‘’Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan uang nggak bersih saja, tak malu,’’ cetusnya.
Ia merasa optimistis, Bali bisa menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumat. Bisa jadi, papar dia, itu karena muslim di Bali masih minoritas.
‘’Kalau suatu hari kita jadi mayoritas. Apakah itu akan kendur? Mengapa rumah ibadah di Jawa banyak? Orang berlomba-lomba untuk membuat rumah ibadah, subuh ada jamaahnya tidak? atau hanya takmir masjid saja dua sampai tiga orang?,’’ ucap David.
Menurut dia, bukanlah sesuatu yang mustahil, kelak Bali akan menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, papar dia, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.
Lantas, apa kesannya terhadap peristiwa Bom Bali? Ketika peristiwa Bom Bali terjadi, David mengaku merasakan sedih luar biasa. ‘’Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai mobil pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang pada waktu itu bilang, ‘Wah pak, nanti mobilnya bawa sial!’ Wallahu ‘alam saya bilang waktu itu. Yang penting saya ingin menolong.”
Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. ‘’Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi berkat gotong royong di Bali, Alhamdulillah lancar. kalau saya pribadi tidak seratus persen berkeyakinan bahwa itu dikerjakan kelompok Islam yang fanatik atau radikal. Tapi itu lebih pada upaya menggoyang ekonomi di sini yang cukup mapan,’’ ungkap David.
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. Warga asal Amerika Serikat (AS) yang sejak 17 tahun lalu memeluk Islam itu, saban Jumat mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim, ia berbagi dengan para jamaah shalat Jumat dengan membagikan nasi bungkus.
’’Alhamdulillah, sejak satu tahun lalu secara rutin saya dan kawan-kawan mengunjungi dan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumat,’’ papar David.
Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar sangat semangat berbagi makanan usai shalat Jumat? Menurut David, berdasarkan pengalamannya, seusai Jumatan banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.
Alasannya, kata dia, jam istirahatnya baik dari kantor swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, lanjut David, banyak jamaah salat Jumat yang terburu-buru keluar masjid untuk makan siang, dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.
Nah, David dan kawan-kawannya berusaha memotong alasan untuk segera mendapatkan makan siang itu dengan cara mengantarkan nasi ke masjid. ”Sekarang nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka nggak usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita bisa silaturahim sambil menikmati makan siang,” ungkap David penuh bahagia.
Berapa lama David dan kawan-kawan bisa mengelilingi seluruh masjid di Denpasar yang jumlahnya tak kurang dari 200 masjid? ”Kira-kira saya membutuhkan waktu selama empat tahu barun untuk bisa mengunjungi seluruh masjid di Denpasar, itu pun dengan syarat setiap Jumat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk bisa mengeliling seluruh masjid di Bali, saya membutuhkan waktu selama delapan tahun.”
Ia merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa atas apa yang ia lakukan bersama-sama temannya itu.
kisahmuallaf.com – Gema takbir yang menggema di malam Idul Fitri — sekitar 17 tahun silam — telah menggetarkan hati David Sanford Scherer. Kalimah yang mengagungkan Sang Khalik itu membuatnya merinding. Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pria kelahiran Yokohama, Jepang itu memutuskan untuk memeluk Islam.
‘’Langsung saya bilang mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbiran itu, saya memeluk Islam,’’ ujar ayah dua anak itu berkisah kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri.
Tak hanya gema takbir yang membuat David memeluk Islam. Suara azan yang berkumandang setiap lima kali dalam sehari juga telah menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha makanan di Pulau Dewata itu mengaku selalu merinding setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.
’’Makanya, kalau malam takbiran saya nggak di Bali. Karena di sini (Bali, red) kita nggak mendengar suara takbir. Biasanya saya ke Jakarta, mertua saya di Ciputat,’’ papar suami dari Indriani Kuntowati itu.
David hijrah ke Indonesia bersama orangtuanya pada tahun 1980-an. Kedua orangtuanya mencoba berbagai usaha, hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam. Seperti halnya, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan Menteng Dalam.
Ia sungguh amat bersyukur. Betapa tidak. Ia telah menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir dalam keadaan sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, muallaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai, serta 100 persen mengamalkan ajaran Islam.
‘’Itu, karena mereka (muallaf, red) mengetahui bahwa Islam adalah agama terbaik,’’ ungkap mantan pengurus Yayasan Dyatmika Sekar Bawana itu. Menurut David, untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orangtua Muslim harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.
Seringkali, papar David, orangtua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tak melakukannya. Padahal, kata dia, contoh terbaik itu harus dimulai dari setiap orangtua di rumah. ‘’Apa saja kebaikan, harus dicontohkan orangtua, baru anak mengikutinya dengan baik.Tapi kalau cuma perintah, sedang orang tuanya tidak melakukan, itu akan sulit dilaksanakan dengan baik.’’
Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya telah diikuti kedua anaknya. Bahkan, anaknya telah menjadi imam shalat di mushala sekolahnya.
David bersama putranya berhasil memperjuangkan hadirnya mushala di sebuah sekolah nasional plus campuran. ‘’Alhamdulillah, sekarang di sekolah anak saya sudah ada mushala. Itu saya perjuangkan selama satu tahun,’’ tuturnya sumringah.
Pihak sekolah memberi ruangan bekas gudang untuk digunakan sebagai mushala. David pun membersihkan gudang itu dan menyulapnya menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah SWT. ‘’Anak saya sekarang sudah menjadi imam di mushala. ‘Alhamdulillah, Allahu akbar,’’ ujar David.
Apa pendapat David tentang umat Islam di Indonesia? Secara jujur, ia mengungkapkan, sebagian besar umat Islam masih memandang seseorang dari materi dan kekuasaan. ‘’Contohnya, saya berseragam dengan memakai baju gamis, orang pikir saya ustadz. Besoknya, saya pakai celana jeans bolong-bolong, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka nggak mau jawab. Naif sekali.’’
Selain itu, David juga menyayangkan masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum mampu memahami dan mengamalkan tuntunan Alquran. ‘’Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan uang nggak bersih saja, tak malu,’’ cetusnya.
Ia merasa optimistis, Bali bisa menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumat. Bisa jadi, papar dia, itu karena muslim di Bali masih minoritas.
‘’Kalau suatu hari kita jadi mayoritas. Apakah itu akan kendur? Mengapa rumah ibadah di Jawa banyak? Orang berlomba-lomba untuk membuat rumah ibadah, subuh ada jamaahnya tidak? atau hanya takmir masjid saja dua sampai tiga orang?,’’ ucap David.
Menurut dia, bukanlah sesuatu yang mustahil, kelak Bali akan menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, papar dia, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.
Lantas, apa kesannya terhadap peristiwa Bom Bali? Ketika peristiwa Bom Bali terjadi, David mengaku merasakan sedih luar biasa. ‘’Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai mobil pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang pada waktu itu bilang, ‘Wah pak, nanti mobilnya bawa sial!’ Wallahu ‘alam saya bilang waktu itu. Yang penting saya ingin menolong.”
Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. ‘’Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi berkat gotong royong di Bali, Alhamdulillah lancar. kalau saya pribadi tidak seratus persen berkeyakinan bahwa itu dikerjakan kelompok Islam yang fanatik atau radikal. Tapi itu lebih pada upaya menggoyang ekonomi di sini yang cukup mapan,’’ ungkap David.
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. Warga asal Amerika Serikat (AS) yang sejak 17 tahun lalu memeluk Islam itu, saban Jumat mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim, ia berbagi dengan para jamaah shalat Jumat dengan membagikan nasi bungkus.
’’Alhamdulillah, sejak satu tahun lalu secara rutin saya dan kawan-kawan mengunjungi dan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumat,’’ papar David.
Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar sangat semangat berbagi makanan usai shalat Jumat? Menurut David, berdasarkan pengalamannya, seusai Jumatan banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.
Alasannya, kata dia, jam istirahatnya baik dari kantor swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, lanjut David, banyak jamaah salat Jumat yang terburu-buru keluar masjid untuk makan siang, dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.
Nah, David dan kawan-kawannya berusaha memotong alasan untuk segera mendapatkan makan siang itu dengan cara mengantarkan nasi ke masjid. ”Sekarang nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka nggak usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita bisa silaturahim sambil menikmati makan siang,” ungkap David penuh bahagia.
Berapa lama David dan kawan-kawan bisa mengelilingi seluruh masjid di Denpasar yang jumlahnya tak kurang dari 200 masjid? ”Kira-kira saya membutuhkan waktu selama empat tahu barun untuk bisa mengunjungi seluruh masjid di Denpasar, itu pun dengan syarat setiap Jumat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk bisa mengeliling seluruh masjid di Bali, saya membutuhkan waktu selama delapan tahun.”
Ia merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa atas apa yang ia lakukan bersama-sama temannya itu.
ARTIKEL TERKAIT:
0 komentar:
Posting Komentar