J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi, kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam
Islam adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla yang sempurna dan penuh petunjuk. Tak satu agama pun yang diridhoi-Nya selain Islam. Kemulian, keindahan, keagungan dan segala sifat yang terpuji telah menjadi cahaya Islam yang tidak akan sirna hingga hari kiamat. Betapapun kebencian orang-orang yang anti terhadapnya, namun Islam tetaplah Islam, kemulian dan keagungannya akan tetap menghiasinya walaupun musuh-musuh Allah berusaha untuk memadamkan kemilaunya, walaupun orang-orang munâfiqûn tak kenal letih dan tiada kehabisan akal dalam mendatangkan makar di tengah kebesarannya, dan walaupun segelentir penganutnya –sadar maupun tak sadar- telah mencoreng dan merusak keindahannya di mata manusia.
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)
“Mereka (ornag-orang munâfiqûn) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munâfiqûn : 8)
Dan patut untuk diketahui bahwa akan tetap ada dari ulamanya yang akan membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
Dan ingatlah, akan tetap ada yang akan tampil dari ulamanya guna menjawab segala tuduhan, menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) dan menghancurkan seluruh makar musuh-musuhnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrîf (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwîl orang-orang jahil.” [2]
Episode “Oprah Winfrey Show” edisi 7 Mei 2006, memuat kesaksian seorang pria yang diminta tinggal pada sebuah keluarga Muslim di AS. Mengaku awalnya benci pada Islam (islamo phobia), pengalamannya sebulan tinggal dan berpenampilan seperti seorang Muslim, telah mengubah persepsinya lebih baik tentang Islam. Nah, yang menarik, suatu hari ia pulang ke rumah dan mendapati nyonya rumah di dapur. Semula ia ingin mengobrol, namun nyonya rumah menolak dan berkata bahwa aturan Islam melarang bicara antara pria dan wanita tanpa orang ketiga. “Mula-mula saya anggap itu aturan gila”, tutur pria itu pada Oprah. Namun sejurus kemudian ia melanjutkan, “Tapi saya pikir-pikir kemudian,, aturan sederhana macam itulah yang bisa menyelamatkan Amerika dari sex abuse, affairs dan aborsi..”
Begitulah, saat banyak yang mengaku muslim disini merasa ajaran Islam yang mengatur pergaulan pria dan wanita sebagai hal yang ‘kuno, terbelakang serta mengekang kebebasan’, seorang non Muslim di AS justru mampu melihat indahnya ajaran Islam yang sederhana itu. Daftar ironi semacam ini bisa semakin panjang. Namun dapat disimpulkan bahwa keindahan Islam itu banyak yang terhalangi oleh kebodohan dan bahkan kemalasan kita menelisik agama Allah yang agung ini. Ungkapan “al-Islamu mahjubun bil-muslimin”, cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri, sejatinya benar sekali.
Agaknya, kita perlu membiasakan diri melihat segala aspek ajaran dienul Islam ini secara utuh dan disertai dengan wawasan mendalam, agar sisi-sisi keindahan al islam itu, muncul terang benderang. Maka, mari kini kita coba berlakukan hal itu dalam memandang ajaran Islam tentang berbagi.
Berbagi (dalam bentuk zakat infaq dan shadaqah itu) bahkan bisa dipandang ‘buruk’ jika hawa nafsu yang jadi parameternya (“Untuk apa saya susah-susah mengeluarkan harta, yang susah payah memperolehnya?”), Atau, perintah berbagi terasa menjadi beban manakala perintah berbagi hanya difahami semata-mata sebagai kewajiban (“kalau saya tidak keluarkan harta ini, bisa-bisa saya masuk neraka!”). Bahkan karena salah faham, ada diantara kita menolak berbagi karena tak ingin disebut riya’ alias pamer!
Padahal, sikap dan perilaku berbagi, sesungguhnya adalah manifestasi dari kualitas ketaqwaan seorang Muslim. Saya ingin ajak merenungkan firmanNYA berikut ini:
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya, serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).
Jadi, ciri ketaqwaan juga diimbuhi oleh kegemaran kita untuk berbagi. Hanya, jujur saja, masalah terberat kita dalam berbagi adalah mengalahkan hawa nafsu kita yang pada dasarnya mencintai harta dan cenderung kikir itu. Ini sinyalemen yang Allah SWT sampaikan mengenai kualitas dasar diri kita (70: 19-21), dan secara empirik, tak terbantahkan. Mengatasinya, tak pelak, perlu perjuangan tersendiri.
Oleh karena itu, keindahan berbagi akan segera nampak begitu kita mau sedikit saja lebih mendalami wacana berbagi dalam konteks yang lebih luas. Berbagi, jika dilakukan dengan tujuan utama ikhlas karena mencari keridhaan Allah, tak cuma mendatangkan balasan Allah SWT di akhirat saja. Sadarkah kita bahwa berbagi adalah pemenuhan kebutuhan rohani yang memang kita perlukan? Tahukah kita bahwa berbagi memiliki efek-efek kesehatan jiwa dan raga? Bahwa berbagi, adalah sarana menggapai pertolonganNYA?
Pandangan Multi Aspek Tentang Berbagi
Barangkali kita perlu mengetahui bahwa sikap memberi adalah salah satu sarana kesehatan jiwa, dan juga raga. Sederhana saja, karena dengan begitu sesungguhnya kita tengah mengikuti mekanisme sunnatullah di alam semesta ini. Bukankah Alam semesta berjalan menurut sirkulasi memberi dan menerima. Tidak berlebihan jika Deepak Chopra dalam “7 Spiritual Law of Success” mencantumkan “Law of Giving” sebagai hukum kedua untuk sukses.
Ada juga sebuah analogi menarik soal itu. Pernahkah anda membayangkan saat tubuh kita dipenuhi sisa kotoran yang tidak dikeluarkan? Sekian banyak masalah kesehatan siap menerkam jika kotoran kita tidak keluar pada waktunya. Jadi, adalah hak dari kotoran tubuh kita untuk dikeluarkan, barulah kita boleh berharap agar kita selalu dalam kesehatan
Dalam firmanNYA pada ayat 103 surah at Taubah (9), Allah SWT berfirman agar “..ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Inilah indikasi yang amat jelas, zakat sebagai instrumen berbagi, sesungguhnya adalah pembersih harta kita! Tak lain, karena dalam pandangan Islam, dalam harta kita terdapat hak orang lain! (QS 51:19). Hak inilah yang harus dikeluarkan dari bagian harta kita.
Maka, tidak sulit menarik analogi dengan tubuh kita sendiri, apabila zakat, infaq mau pun shadaqah yang kita tahan-tahan itu, serupa dengan kotoran yang tak mau hengkang dari tubuh kita. Seperti halnya tubuh yang akan terserang penyakit, demikian juga, harta yang tak tertunaikan haknya itu, pun akan membawa masalah tersendiri bagi diri kita, disamping tentu saja, siksa Allah bagi para penimbun harta yang enggan mengeluarkan zakatnya .
Itulah makna berbagi terhadap kesehatan jiwa dan juga, raga kita. Meski begitu, Maha agung Allah dengan karuniaNYA yang sungguh besar! Karena, tetap saja, di sisi yang lain juga, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba’: 39).
Ibnu Katsir, pakar tafsir termashyur itu menyebutkan, bahwa makna firman-NYA “Allah akan menggantinya” adalah dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713). Dan dalam al Qur’an yang mulia, ayat-ayat serupa juga bertebaran dalam berbagai surah lainnya.
Keberkahan adalah munculnya added value dalam harta kita. Harta secara kuantitatif mungkin relatif, namun memberikan ketenangan dan ketentraman setelah dikeluarkan hak-haknya. Harta yang masih ada pada kita pun, terjaga dari kerusakan yang menyusahkan hati kita. Setidaknya, hal itulah yang terungkap dari hadist berikut ini:
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).’” (HR. Muslim, no. 2588 dan imam-imam lainnya).
Dijelaskan dalam kitab Syarhu Shahihi Muslim (16/141) dan Faidhul Qadir (5/503), arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia. Juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.”
Ya, memang ada nilai harta yang berkurang! Namun yang luar biasa, Allah SWT menyebut tindakan berbagi itu sebagai sebentuk ‘peminjaman’ yang akan digantiNYA, bahkan dengan berlipat ganda, disertai tambahan ‘bonus’ berupa ampunanNYA!
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya DIA melipatgandakan (balasan) untukmu, dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Penyantun…”
Inilah janji Allah SWT dalam al Qur’an surah at Taghabun ayat ke-17! Maka, siapa yang lebih benar janjinya dari Allah? Peganglah janji ini, dan kita takkan kecewa! Lalu, siapa yang tak memerlukan ampunan atas dosa dan kesalahan kita? Maka, ingatlah janjiNYA ini saat kita menyisihkan sebagian harta kita untuk merengkuh keridhaanNYA.
Lebih lanjut, aktifitas berbagi sejatinya merupakan sarana menggapai pertolongan Allah SWT. Ingatkah Anda tentang satu kisah yang tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An Nawawi, tentang 3 orang pria yang terperangkap dalam gua. Mereka lalu bermunajat pada Allah SWT agar dikeluarkan dari gua itu, dengan menyebut-nyebut kebaikan mereka. Yang menarik, orang ketiga menyebut kebaikannya dalam menginvestasikan gaji salah seorang pegawainya yang resign setahun sebelumnya. Ketika pegawai itu datang meminta haknya, sang pria menunjuk pada sekelompok hewan ternak yang lantas diserahkan sepenuhnya pada si pegawai. Batu-batuan di mulut gua runtuh, membuka jalan, dan membebaskan mereka.
Penutup
Dalam akhir ayat 16 surah at Taghabun (64), Allah SWT menyatakan barang siapa yang dipelihara dirinya dari kekikiran, orang itu sungguh beruntung! Uraian di atas semoga memberi pemahaman kita, Insya Allah, betapa luasnya keberuntungan yang Allah SWT janjikan pada kita itu. Semoga dengan begitu, indahnya ajaran Islam tentang berbagi itu, akan muncul menjadi persepsi baru dalam pemahaman kita. Maka, izinkan saya mengajak Anda menjadi figur yang beruntung itu, dengan menjadi pribadi yang suka berbagi, semata karena mengharap keridhoan Allah Robbul ‘Izzaty. Wallaahu a’lam.
Islam adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla yang sempurna dan penuh petunjuk. Tak satu agama pun yang diridhoi-Nya selain Islam. Kemulian, keindahan, keagungan dan segala sifat yang terpuji telah menjadi cahaya Islam yang tidak akan sirna hingga hari kiamat. Betapapun kebencian orang-orang yang anti terhadapnya, namun Islam tetaplah Islam, kemulian dan keagungannya akan tetap menghiasinya walaupun musuh-musuh Allah berusaha untuk memadamkan kemilaunya, walaupun orang-orang munâfiqûn tak kenal letih dan tiada kehabisan akal dalam mendatangkan makar di tengah kebesarannya, dan walaupun segelentir penganutnya –sadar maupun tak sadar- telah mencoreng dan merusak keindahannya di mata manusia.
Ingatlah bahwa Allah Jalla Jalâluhu telah menegaskan,
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)
“Mereka (ornag-orang munâfiqûn) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munâfiqûn : 8)
Dan patut untuk diketahui bahwa akan tetap ada dari ulamanya yang akan membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [1]Dan ingatlah, akan tetap ada yang akan tampil dari ulamanya guna menjawab segala tuduhan, menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) dan menghancurkan seluruh makar musuh-musuhnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
Episode “Oprah Winfrey Show” edisi 7 Mei 2006, memuat kesaksian seorang pria yang diminta tinggal pada sebuah keluarga Muslim di AS. Mengaku awalnya benci pada Islam (islamo phobia), pengalamannya sebulan tinggal dan berpenampilan seperti seorang Muslim, telah mengubah persepsinya lebih baik tentang Islam. Nah, yang menarik, suatu hari ia pulang ke rumah dan mendapati nyonya rumah di dapur. Semula ia ingin mengobrol, namun nyonya rumah menolak dan berkata bahwa aturan Islam melarang bicara antara pria dan wanita tanpa orang ketiga. “Mula-mula saya anggap itu aturan gila”, tutur pria itu pada Oprah. Namun sejurus kemudian ia melanjutkan, “Tapi saya pikir-pikir kemudian,, aturan sederhana macam itulah yang bisa menyelamatkan Amerika dari sex abuse, affairs dan aborsi..”
Begitulah, saat banyak yang mengaku muslim disini merasa ajaran Islam yang mengatur pergaulan pria dan wanita sebagai hal yang ‘kuno, terbelakang serta mengekang kebebasan’, seorang non Muslim di AS justru mampu melihat indahnya ajaran Islam yang sederhana itu. Daftar ironi semacam ini bisa semakin panjang. Namun dapat disimpulkan bahwa keindahan Islam itu banyak yang terhalangi oleh kebodohan dan bahkan kemalasan kita menelisik agama Allah yang agung ini. Ungkapan “al-Islamu mahjubun bil-muslimin”, cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri, sejatinya benar sekali.
Agaknya, kita perlu membiasakan diri melihat segala aspek ajaran dienul Islam ini secara utuh dan disertai dengan wawasan mendalam, agar sisi-sisi keindahan al islam itu, muncul terang benderang. Maka, mari kini kita coba berlakukan hal itu dalam memandang ajaran Islam tentang berbagi.
Berbagi (dalam bentuk zakat infaq dan shadaqah itu) bahkan bisa dipandang ‘buruk’ jika hawa nafsu yang jadi parameternya (“Untuk apa saya susah-susah mengeluarkan harta, yang susah payah memperolehnya?”), Atau, perintah berbagi terasa menjadi beban manakala perintah berbagi hanya difahami semata-mata sebagai kewajiban (“kalau saya tidak keluarkan harta ini, bisa-bisa saya masuk neraka!”). Bahkan karena salah faham, ada diantara kita menolak berbagi karena tak ingin disebut riya’ alias pamer!
Padahal, sikap dan perilaku berbagi, sesungguhnya adalah manifestasi dari kualitas ketaqwaan seorang Muslim. Saya ingin ajak merenungkan firmanNYA berikut ini:
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya, serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).
Jadi, ciri ketaqwaan juga diimbuhi oleh kegemaran kita untuk berbagi. Hanya, jujur saja, masalah terberat kita dalam berbagi adalah mengalahkan hawa nafsu kita yang pada dasarnya mencintai harta dan cenderung kikir itu. Ini sinyalemen yang Allah SWT sampaikan mengenai kualitas dasar diri kita (70: 19-21), dan secara empirik, tak terbantahkan. Mengatasinya, tak pelak, perlu perjuangan tersendiri.
Oleh karena itu, keindahan berbagi akan segera nampak begitu kita mau sedikit saja lebih mendalami wacana berbagi dalam konteks yang lebih luas. Berbagi, jika dilakukan dengan tujuan utama ikhlas karena mencari keridhaan Allah, tak cuma mendatangkan balasan Allah SWT di akhirat saja. Sadarkah kita bahwa berbagi adalah pemenuhan kebutuhan rohani yang memang kita perlukan? Tahukah kita bahwa berbagi memiliki efek-efek kesehatan jiwa dan raga? Bahwa berbagi, adalah sarana menggapai pertolonganNYA?
Pandangan Multi Aspek Tentang Berbagi
Barangkali kita perlu mengetahui bahwa sikap memberi adalah salah satu sarana kesehatan jiwa, dan juga raga. Sederhana saja, karena dengan begitu sesungguhnya kita tengah mengikuti mekanisme sunnatullah di alam semesta ini. Bukankah Alam semesta berjalan menurut sirkulasi memberi dan menerima. Tidak berlebihan jika Deepak Chopra dalam “7 Spiritual Law of Success” mencantumkan “Law of Giving” sebagai hukum kedua untuk sukses.
Ada juga sebuah analogi menarik soal itu. Pernahkah anda membayangkan saat tubuh kita dipenuhi sisa kotoran yang tidak dikeluarkan? Sekian banyak masalah kesehatan siap menerkam jika kotoran kita tidak keluar pada waktunya. Jadi, adalah hak dari kotoran tubuh kita untuk dikeluarkan, barulah kita boleh berharap agar kita selalu dalam kesehatan
Dalam firmanNYA pada ayat 103 surah at Taubah (9), Allah SWT berfirman agar “..ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Inilah indikasi yang amat jelas, zakat sebagai instrumen berbagi, sesungguhnya adalah pembersih harta kita! Tak lain, karena dalam pandangan Islam, dalam harta kita terdapat hak orang lain! (QS 51:19). Hak inilah yang harus dikeluarkan dari bagian harta kita.
Maka, tidak sulit menarik analogi dengan tubuh kita sendiri, apabila zakat, infaq mau pun shadaqah yang kita tahan-tahan itu, serupa dengan kotoran yang tak mau hengkang dari tubuh kita. Seperti halnya tubuh yang akan terserang penyakit, demikian juga, harta yang tak tertunaikan haknya itu, pun akan membawa masalah tersendiri bagi diri kita, disamping tentu saja, siksa Allah bagi para penimbun harta yang enggan mengeluarkan zakatnya .
Itulah makna berbagi terhadap kesehatan jiwa dan juga, raga kita. Meski begitu, Maha agung Allah dengan karuniaNYA yang sungguh besar! Karena, tetap saja, di sisi yang lain juga, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba’: 39).
Ibnu Katsir, pakar tafsir termashyur itu menyebutkan, bahwa makna firman-NYA “Allah akan menggantinya” adalah dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713). Dan dalam al Qur’an yang mulia, ayat-ayat serupa juga bertebaran dalam berbagai surah lainnya.
Keberkahan adalah munculnya added value dalam harta kita. Harta secara kuantitatif mungkin relatif, namun memberikan ketenangan dan ketentraman setelah dikeluarkan hak-haknya. Harta yang masih ada pada kita pun, terjaga dari kerusakan yang menyusahkan hati kita. Setidaknya, hal itulah yang terungkap dari hadist berikut ini:
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).’” (HR. Muslim, no. 2588 dan imam-imam lainnya).
Dijelaskan dalam kitab Syarhu Shahihi Muslim (16/141) dan Faidhul Qadir (5/503), arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia. Juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.”
Ya, memang ada nilai harta yang berkurang! Namun yang luar biasa, Allah SWT menyebut tindakan berbagi itu sebagai sebentuk ‘peminjaman’ yang akan digantiNYA, bahkan dengan berlipat ganda, disertai tambahan ‘bonus’ berupa ampunanNYA!
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya DIA melipatgandakan (balasan) untukmu, dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Penyantun…”
Inilah janji Allah SWT dalam al Qur’an surah at Taghabun ayat ke-17! Maka, siapa yang lebih benar janjinya dari Allah? Peganglah janji ini, dan kita takkan kecewa! Lalu, siapa yang tak memerlukan ampunan atas dosa dan kesalahan kita? Maka, ingatlah janjiNYA ini saat kita menyisihkan sebagian harta kita untuk merengkuh keridhaanNYA.
Lebih lanjut, aktifitas berbagi sejatinya merupakan sarana menggapai pertolongan Allah SWT. Ingatkah Anda tentang satu kisah yang tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An Nawawi, tentang 3 orang pria yang terperangkap dalam gua. Mereka lalu bermunajat pada Allah SWT agar dikeluarkan dari gua itu, dengan menyebut-nyebut kebaikan mereka. Yang menarik, orang ketiga menyebut kebaikannya dalam menginvestasikan gaji salah seorang pegawainya yang resign setahun sebelumnya. Ketika pegawai itu datang meminta haknya, sang pria menunjuk pada sekelompok hewan ternak yang lantas diserahkan sepenuhnya pada si pegawai. Batu-batuan di mulut gua runtuh, membuka jalan, dan membebaskan mereka.
Penutup
Dalam akhir ayat 16 surah at Taghabun (64), Allah SWT menyatakan barang siapa yang dipelihara dirinya dari kekikiran, orang itu sungguh beruntung! Uraian di atas semoga memberi pemahaman kita, Insya Allah, betapa luasnya keberuntungan yang Allah SWT janjikan pada kita itu. Semoga dengan begitu, indahnya ajaran Islam tentang berbagi itu, akan muncul menjadi persepsi baru dalam pemahaman kita. Maka, izinkan saya mengajak Anda menjadi figur yang beruntung itu, dengan menjadi pribadi yang suka berbagi, semata karena mengharap keridhoan Allah Robbul ‘Izzaty. Wallaahu a’lam.
ARTIKEL TERKAIT:
0 komentar:
Posting Komentar