J'art Kaligrafi Gallery Pengrajin kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam
***
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari pembalasan.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)
Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.
Sungguh, kita bisa melihat teladan yang baik dalam masalah ini dari Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160)
Kita juga tentu tidak lupa dengan peran ‘Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama.
Kita juga tentu mengetahui sebuah kisah yang terjadi belum lama ini berkenaan dengan istri Imam Muhammad bin Su’ud, raja pertama kerajaan Arab Saudi. Kita mengetahui bahwa isteri beliau menasehati suaminya yang seorang raja itu untuk menerima dakwah Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh, nasehat isteri sang raja itu benar-benar membawa pengaruh besar hingga membuahkan kesepakatan antara Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam Muhammad bin Su’ud untuk menggerakkan dakwah. Dan -alhamdulillah— kita bisa merasakan hasil dari nasehat istri raja itu hingga hari ini, hal mana aqidah merasuk dalam diri anak-anak negeri ini. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ibuku sendiri memiliki peran dan andil yang besar dalam memberikan dorongan dan bantuan terhadap keberhasilan pendidikanku. Semoga Allah melipat gandakan pahala untuknya dan semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku tersebut dengan balasan yang terbaik.
Tidak diragukan bahwa rumah yang penuh dengan rasa cinta, kasih dan sayang, serta pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan taufik dari Allah dalam setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang ditempuhnya, baik dalam menuntut ilmu, perdagangan, pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain.
Kepada Allah-lah aku memohon semoga Dia memberi taufik-Nya kepada kita semua sehingga dapat melakukan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz III/348)
Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah
Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang biasa menjadi bahan perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya mungkin kita pernah mendengar sebagian orang mengatakan, “Kami tidak suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.” Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau melahirkan anak perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri dari orang-orang seperti itu-. Sebagian dari wanita ada yang mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka merasa gelisah dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh dalam masalah ini?
Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada seorang suami yang kebodohannya sampai pada taraf seperti itu; mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya anak perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka dengan isterinya, kemudian ingin menceraikannya dan menjadikan masalah ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya. Jika ini masalah yang sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya akan tetapi tidak berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya dia mencerai istrinya dengan cara yang jelas, bukan dengan alasan seperti itu.
Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang syar’i. Akan tetapi, meskipun demikian, kami menasehatkan kepada para suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai pada diri isterinya agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan perilaku jahiliyah, dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak menerima) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah. Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang dimilikinya akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa banyak anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Dan berapa banyak anak-anak lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya semasa hidupnya dan tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.
Rujukan:
Fatawa Ulama al-Balad al-Haram hal. 519.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/348).
Oleh: Buletin Al-Ilmu
Wanita di Masa JahiliyahWanita di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)  pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa  Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh  belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi,  aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka  tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam  keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan  termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apabila seorang dari mereka  diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya  dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,  disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia  memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke  dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka  tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)
Islam Menjunjung Martabat WanitaDienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin,  menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita  dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan  kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):
 “Barangsiapa yang mengerjakan amalan  shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka  sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan  kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari  apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Ambisi Musuh-Musuh Islam untuk Merampas Kehormatan WanitaDalih emansipasi atau kesamarataan posisi  dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung  modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat  musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam  untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi”  adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak  wanita Islam. Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga  kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah  wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab  atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan  mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan  penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak  lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur,  sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus  direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya,  berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum  lelaki di masa moderen dewasa ini.
Ketahuilah wahai muslimah! Suara-suara sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali  kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua  ibu bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya  untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27)
Peran Wanita dalam Rumah TanggaTelah termaktub dalam Al Qur’an sebagai  petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang  Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala  dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu  rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah  satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam  mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik  setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkta: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: perbaikan secara dhahir, di  pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir.  Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan  umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan  yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum  wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam  rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam  rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana  penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat,  tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah  berkehendak untuk menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan  mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini, tidaklah salah  bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan  mayoritas tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:
1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan kaum  laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita  sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunnah An Nabawiyah. Akan tetapi  hal itu tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu  jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita  lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya… Apapun keadaannya  wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.
2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi  pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat  jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat. (Daurul Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)
Pekerjaan Wanita di dalam RumahBeberapa pekerjaan wanita yang bisa dilakukan di dalam rumah:
1. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam  rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya  orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat,  dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)
2. Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan/keharmonisan) bagi suami. Namun tidak akan terwujud kecuali ia melakukan beberapa hal berikut ini:
- Taat sempurna kepada suaminya dalam  perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan  ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini  menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami  daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami  itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada  menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
- Menjaga rahasia suami dan kehormatannya  dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada di  tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
- Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ  نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ  عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta,  adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang  terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Mengatur kondisi rumah tangga yang  rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat  betah penghuni rumah.
3. Mendidik anak yang merupakan salah  satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal  dan diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.
Adab Keluar RumahAllah subhanahu wata’ala Yang  Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun  diakhirat yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun  bila ada kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi  kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Namun juga ingat petuah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya:
“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)
Sehingga wajib baginya ketika hendak keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:
a. Memakai jilbab yang syar’i sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.
b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).
Hukum Wanita Kerja di Luar Rumahb. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).
Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga  itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam  menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus  agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan  masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah  dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya,  memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas  lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi  sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus  bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam  rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal  tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)
Bila kaum wanita tidak ada lagi yang  mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk  bekerja, tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga  tetap terjaga iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.
Wanita adalah Sumber Segala FitnahBila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala.  Keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya.  Meski mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki  tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj  (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria  dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah  menyala.
Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dijadikan indah pada (pandangan)  manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan  harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:  “Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya  …, karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala  syahwat. Dan Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada  point pertama (dalam ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan  bahwa asal dari segala syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)
Bila fitnah wanita itu telah menjalar,  maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral  manusia. Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang  menyuarakan emansipasi wanita, sebagai bukti kongkrit hasil dari  perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan pornografi bukan hal yang tabu  bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan menggoda lebih menarik  daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga diri wanita itu  seperti budak pemuas syahwat lelaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ  اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا  الدُّنْيَا وَ اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ فِتْنَةِ بَنِيْ  إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi  hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di  atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah)  dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal  fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)
Setelah mengetahui hak dan  tanggung jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh  Islam, apakah bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno?  sebaliknya, silahkan lihat kenyataan kini dari para wanita karier  dibalik label emansipasi atau slogan “Mari maju menyambut modernisasi?”  Renungkanlah wahai kaum wanita, bagaimana kedaan suami dan anak-anak  kalian setelah kalian tinggalkan tanggung jawab sebagai istri penyejuk  hati suami dan penyayang anak-anak?!!!!
Hadits-Hadits Dho’if (Lemah) atau Palsu yang Tersebar di Kalangan Ummatاُطْلُبُوْا العِلْمَ وَ لَوْ بِالصِّيْنِ
“Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Keterangan:
Hadits ini adalah bathil, diriwayatkan  oleh Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al Khotib, Al Baihaqi, dan selain mereka.  Hadits ini dikritik oleh para ulama seperti Al Imam Al Bukhori, Ahmad,  An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Khotib, dan selain dari mereka.  Karena didalam perawi-perawi hadits ini lemah (dho’if). (Lihat Adh Dhoi’fah No.416)
dan 
Berikut  ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam  majalah Al-Jail  di Riyadh (Arab Saudi) tentang kedudukan wanita dalam  Islam yang  disampaikan oleh Syaikh Ibnu Baz.***
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari pembalasan.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)
Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.
Sungguh, kita bisa melihat teladan yang baik dalam masalah ini dari Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160)
Kita juga tentu tidak lupa dengan peran ‘Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama.
Kita juga tentu mengetahui sebuah kisah yang terjadi belum lama ini berkenaan dengan istri Imam Muhammad bin Su’ud, raja pertama kerajaan Arab Saudi. Kita mengetahui bahwa isteri beliau menasehati suaminya yang seorang raja itu untuk menerima dakwah Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh, nasehat isteri sang raja itu benar-benar membawa pengaruh besar hingga membuahkan kesepakatan antara Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam Muhammad bin Su’ud untuk menggerakkan dakwah. Dan -alhamdulillah— kita bisa merasakan hasil dari nasehat istri raja itu hingga hari ini, hal mana aqidah merasuk dalam diri anak-anak negeri ini. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ibuku sendiri memiliki peran dan andil yang besar dalam memberikan dorongan dan bantuan terhadap keberhasilan pendidikanku. Semoga Allah melipat gandakan pahala untuknya dan semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku tersebut dengan balasan yang terbaik.
Tidak diragukan bahwa rumah yang penuh dengan rasa cinta, kasih dan sayang, serta pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan taufik dari Allah dalam setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang ditempuhnya, baik dalam menuntut ilmu, perdagangan, pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain.
Kepada Allah-lah aku memohon semoga Dia memberi taufik-Nya kepada kita semua sehingga dapat melakukan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz III/348)
Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah
Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang biasa menjadi bahan perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya mungkin kita pernah mendengar sebagian orang mengatakan, “Kami tidak suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.” Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau melahirkan anak perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri dari orang-orang seperti itu-. Sebagian dari wanita ada yang mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka merasa gelisah dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh dalam masalah ini?
Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada seorang suami yang kebodohannya sampai pada taraf seperti itu; mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya anak perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka dengan isterinya, kemudian ingin menceraikannya dan menjadikan masalah ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya. Jika ini masalah yang sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya akan tetapi tidak berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya dia mencerai istrinya dengan cara yang jelas, bukan dengan alasan seperti itu.
Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang syar’i. Akan tetapi, meskipun demikian, kami menasehatkan kepada para suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai pada diri isterinya agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan perilaku jahiliyah, dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak menerima) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah. Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang dimilikinya akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa banyak anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Dan berapa banyak anak-anak lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya semasa hidupnya dan tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.
Rujukan:
Fatawa Ulama al-Balad al-Haram hal. 519.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/348).
ARTIKEL TERKAIT:








1 komentar:
Subhanallah ..
Posting Komentar